ASAL-USUL DAN KEUTAMAAN PUASA 'ASURA (10 MUHARRAM)
KEUTAMAAN PUASA 'ASURA (10 MUHARRAM)
KEUTAMAAN PUASA 'ASURA (10 MUHARRAM)
[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi
-rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa
sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10
Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]
Hadits yang Pertama
عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk
berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits yang Kedua
عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية))
رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab,
“(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)
Hadits yang Ketiga
وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ
مُسلِمٌ.
Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun
depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari
‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini
pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa
setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut,
selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan
(sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka
aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada
hari Tasu’a.
Penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa
pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi
orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari
di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun
dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung
tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan
tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta
membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang
besar.
Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di
Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut.
Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana
Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun
serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur
kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang
yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para
nabi yang terdahulu. Allah berfirman,
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا
النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ
“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang
yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang
beriman, dan Allah-lah pelindrhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad.
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan
memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau
juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpung semua
orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling
berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut,
dikarenakan mereka kafir teuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada
hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari
kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]
Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain
beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling
afdhal.
2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang
pahalanya daripada yang pertama. [4]
3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi
Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak
menganggapnya makhruh). [5]
Wallahu a’lam bish shawab.
(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah
Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Rifai)
CATATAN KAKI:
[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya
(11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . -
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya
(maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan
Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’
hadits no. 3506)
Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah
Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari
ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang
shahih dengan lafadz:
“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .
“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”
Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H.
dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.
لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-
“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya
(hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al
Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297:
Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))
[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada
umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d
Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des).
Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke
sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan
pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’
VI.)
[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1)
maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini
yang afdhal) atau ke 10 saja.
Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu
berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa
sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang
diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,
صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .
“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya
(maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.
Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang
lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah
jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385.
cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)
[4] (lihat no. 3)
[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.
Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja.
(Syarhul Mumthi’ VI)
Wallaahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Write Komentar